Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun terbit : Cetakan ke-41, Agustus 2018
Tebal : xiv+532 halamam
Setelah bertahun-tahun yang lalu menonton film Laskar Pelangi akhirnya aku baca bukunya juga...hehe...Awalnya aku mengira ceritanya akan sama persis dengan film nya. Tapi ternyata apa yang diceritakan di film hanya secuplik saja dari keseluruhan isi buku.
Bila di dalam film kesannya sebagian besar menceritakan tentang Lintang, dalam buku ada beberapa tokoh yang diceritakan, antara lain Lintang, Mahar, dan tentunya A Ling.
Penulis mengambil sudut pandang orang pertama sebagai Ikal. Ikal inilah yang menceritakan pengalaman-pengalaman istimewanya bersama sahabat sekolahnya yang juga sangat istimewa, yaitu Lintang dan Mahar.
Lintang dan Mahar memiliki kecerdasan di bidang masing-masing di atas rata-rata. Lintang, anak keluarga nelayan miskin tak berpendidikan, nampaknya secara alami diberkati kecerdasan dalam ilmu pasti. Sedangkan Mahar mendapat anugerah berupa pengetahuan seni yang tinggi.
Selayaknya anak remaja pada umumnya, Ikal juga menceritakan tentang cinta pertamanya yang bernama A Ling. Seorang anak pemilik toko kelontong tempatnya biasa mengambil kapur untuk sekolah.
Gaya bahasa yang digunakan dalam buku ini khas Andrea Hirata. Terdapat sindiran-sindiran dan kritik halus yang coba disampaikan olehnya. Dalam novel ini terutama penulis memaparkan ketimpangan sosial yang terjadi di Belitong saat itu. Betapa anak-anak miskin harus berjuang sedemikian rupa untuk memperoleh hak pendidikan. Serta takdir tak terelakkan yang harus mereka tanggung, sepahit apapun itu.
Selain kandungan ceritanya, hal lain yang membuat novel ini istimewa menurut saya adalah keluasan ilmu yang dimiliki penulis. Karena banyak sekali istilah dan penjelasan ilmiah beberapa bidang keilmuan di dalamnya. Mulai dari matematika, fisika, sampai seni. Terkesan sangat pandai si penulisnya atau minimal totalitas sekali observasi yang dilakukan penulis untuk memperkaya tulisannya.
Setelah membaca novel ini rasanya ada kecamuk penyesalan di hati. Terbesit tanya kenapa akhirnya harus seperti itu. Novel ini bukan novel untuk memenuhi keinginan pasar, namun untuk membuka mata pembaca terhadap realita di sekitarnya.
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun terbit : Cetakan ke-41, Agustus 2018
Tebal : xiv+532 halamam
Setelah bertahun-tahun yang lalu menonton film Laskar Pelangi akhirnya aku baca bukunya juga...hehe...Awalnya aku mengira ceritanya akan sama persis dengan film nya. Tapi ternyata apa yang diceritakan di film hanya secuplik saja dari keseluruhan isi buku.
Bila di dalam film kesannya sebagian besar menceritakan tentang Lintang, dalam buku ada beberapa tokoh yang diceritakan, antara lain Lintang, Mahar, dan tentunya A Ling.
Penulis mengambil sudut pandang orang pertama sebagai Ikal. Ikal inilah yang menceritakan pengalaman-pengalaman istimewanya bersama sahabat sekolahnya yang juga sangat istimewa, yaitu Lintang dan Mahar.
Lintang dan Mahar memiliki kecerdasan di bidang masing-masing di atas rata-rata. Lintang, anak keluarga nelayan miskin tak berpendidikan, nampaknya secara alami diberkati kecerdasan dalam ilmu pasti. Sedangkan Mahar mendapat anugerah berupa pengetahuan seni yang tinggi.
Selayaknya anak remaja pada umumnya, Ikal juga menceritakan tentang cinta pertamanya yang bernama A Ling. Seorang anak pemilik toko kelontong tempatnya biasa mengambil kapur untuk sekolah.
Gaya bahasa yang digunakan dalam buku ini khas Andrea Hirata. Terdapat sindiran-sindiran dan kritik halus yang coba disampaikan olehnya. Dalam novel ini terutama penulis memaparkan ketimpangan sosial yang terjadi di Belitong saat itu. Betapa anak-anak miskin harus berjuang sedemikian rupa untuk memperoleh hak pendidikan. Serta takdir tak terelakkan yang harus mereka tanggung, sepahit apapun itu.
Selain kandungan ceritanya, hal lain yang membuat novel ini istimewa menurut saya adalah keluasan ilmu yang dimiliki penulis. Karena banyak sekali istilah dan penjelasan ilmiah beberapa bidang keilmuan di dalamnya. Mulai dari matematika, fisika, sampai seni. Terkesan sangat pandai si penulisnya atau minimal totalitas sekali observasi yang dilakukan penulis untuk memperkaya tulisannya.
Setelah membaca novel ini rasanya ada kecamuk penyesalan di hati. Terbesit tanya kenapa akhirnya harus seperti itu. Novel ini bukan novel untuk memenuhi keinginan pasar, namun untuk membuka mata pembaca terhadap realita di sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar