Langsung ke konten utama

Fenomena Dokter Gobl**

”Saya nggak sreg berobat di sana. Itu dokternya gobl**.”
Begitulah kira-kira isi curhatan seorang wanita penderita suatu penyakit. Ia merasa tidak puas dengan pelayanan seorang dokter di RS X.

Sudah jamak terjadi kasus yang dialami oleh wanita tersebut. Pasien merasa tidak puas dengan pelayanan kesehatan yang didapatnya dari dokter A atau RS B. Tentu sah-sah saja perasaan semacam itu. Namanya pasien pasti menginginkan yang terbaik demi kesembuhannya ataupun orang yang disayanginya. Yang menjadi persoalan adalah ketika ketidakpuasan tersebut diluapkan secara berlebihan, seperti melontarkan kata-kata kotor atau bahkan ada yang sampai melakukan kekerasan fisik.

Namun sikap wanita tadi yang menjuluki dokter dengan kata kasar untuk mengekspresikan kekecewaannya tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Seperti kata pepatah, tidak ada asap bila tidak ada api, jadi pastilah ada sebab yang membuatnya sangat kecewa. Mungkin saja sang dokter memang memiliki kompetensi yang kurang sehingga pelayanan kesehatan yang diberikannya kurang optimal atau tidak terjalin komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien alias misscom. Yang dimaksud oleh dokter “begini” tapi karena tidak dijelaskan secara rinci maka yang tertangkap di benak pasien “begitu”.

Tak dapat pula dikatakan bahwa penyebab kekecewaan pasien adalah sepenuhnya salah dokter. Terkadang pasien maunya sembuh instan layaknya iklan di televisi. Kalau keluhannya hanya meriang masuk angin saja sih dengan 1-2 kali minum obat ditunjang makan makanan bergizi dan istirahat mungkin akan membaik dalam waktu singkat. Lain halnya bila penyakit yang diderita cukup serius dan memakan waktu untuk sembuh karena perjalanan alamiah setiap penyakit berbeda. Seringnya pasien tidak sabar menanti kesembuhan tanpa merasa perlu untuk berprasangka baik dan introspeksi diri. Boleh jadi penyebab penyakitnya tidak kunjung sembuh adalah karena ia tidak mengikuti arahan dokter.

Fenomena dokter gobl** tentu dapat dihindari dengan kesadaran kedua belah pihak, yaitu dokter dan pasien, untuk introspeksi diri.

a.Bagi dokter
1. Sudah sepantasnya bagi seorang dokter untuk tidak merasa paling hebat dan paling pintar sehingga dapat mendatangkan kesembuhan. Perlu untuk selalu berdoa dan tawakal kepada Sang Maha Pandai agar memberikan limpahan ilmu dan kemampuan untuk dapat menjadi perantara kesembuhan dari Allah kepada pasien yang datang berobat.

2. Setelah lulus dan menyandang gelar dokter tidak serta-merta menghentikan kewajiban belajar seorang dokter. Karena ilmu terus berkembang tidak terkecuali ilmu kedokteran, maka selanyaknya dokter terus meng-update ilmunya untuk meningkatkan kompetensi di bidangnya.

3. Komunikasi yang baik adalah salah satu komponen penting dalam hubungan dokter dengan pasien. Pasien dan keluarganya akan merasa lebih dihargai keberadaannya bila dokter berkenan untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan keadaan pasien. Apabila terjalin komunikasi yang baik maka pasien akan lebih mudah percaya kepada dokter tersebut dan akan lebih sabar dalam menanti kesembuhan meskipun ternyata memerlukan waktu yang tidak sebentar.

b.Bagi Pasien
1. Sejatinya kesembuhan bukanlah berada di tangan dokter. Mereka hanyalah perantara dari Yang Maha Menyembuhkan. Namun sebagai pasien, seyogyanya jangan berobat dengan niat ‘coba-coba’, harus ada keyakinan dan kepercayaan bahwa kesembuhan dapat dicapai dengan jalan itu. Keyakinan tersebut perlu juga diiringi dengan sikap sabar dan tawakal kepada Sang Pencipta sehingga hati lebih tenang dan tidak tergesa-gesa dalam menanti kesembuhan.

2. Merasa tidak puas dengan suatu pelayanan kesehatan adalah hak pasien. Mereka pun diperbolehkan untuk mencari second opinion kepada dokter lain. Namun selayaknya janganlah mudah memvonis dokter A tidak pandai atau dokter B melakukan mal praktik. Setiap dokter memiliki seni masing-masing dalam memberikan pengobatan untuk pasien yang tentunya didasarkan pada ilmu yang telah dipelajari dan dikuasai sebelumnya. Seegois apapun seorang dokter, yakinlah mereka tidak ada niat sedikitpun untuk membuat pasien celaka. Mereka harus melindungi diri dari jeratan hukum dengan tidak menimbulkan celaka pada pasien. Sekali lagi, dokter hanya perantara. Persoalan lewat perantara mana kesembuhan dapat dicapai, itu semua sepenuhnya kuasa Allah.

3. Setelah bersabar dalam menghadapi ujian berupa penyakit dan berikhtiar mencari kesembuhan dengan berobat, jangan disia-siakan usaha tersebut dengan mendholimi diri sendiri berupa tidak mengikuti anjuran dokter. Sebagai contoh, dokter telah melarang untuk sementara menghindari suatu makanan, namun hanya karena merasa kepingin maka dengan mudahnya melupakan larangan dokter.

Itulah sekelumit hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk evaluasi diri baik oleh dokter atau pasien. Terlepas dari itu semua, marilah kita menanamkan prasangka baik dan meniatkan segala yang kita lakukan hanya untuk memperoleh ridho Allah semata. Dokter menjalankan profesinya dengan niat menolong sesama manusia dalam rangka baktinya kepada Sang Pencipta. Sedangkan pasien meniatkan kunjungannya memeriksakan diri ke dokter sebagai wujud ikhtiar mencari kesembuhan seperti yang diwajibkan oleh Allah.

Bila masing-masing pihak mampu evaluasi diri dan meluruskan niatnya hanya untuk Allah maka diharapkan tidak ada aksi saling menyalahkan bahkan sampai terlontar kata-kata kotor ataupun berujung ke meja hijau. Karena tujuannya sama yaitu memperoleh ridho Allah untuk memasuki Jannah-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serial Anak-anak Mamak

Judul : Eliana, Pukat, Burlian, Amelia Pengarang : Tere Liye Eliana si anak pemberani Pukat si anak pintar Burlian si anak spesial Amelia si anak kuat Keempatnya adalah anak dari Mamak dan Bapak yang dibesarkan dengan pemahaman hidup yang indah. Hidup di daerah terpencil dan dalam keluarga yang sederhana tidak mematikan cita-cita mereka untuk melihat dunia. Cerita keempatnya bukan hanya sekedar cerita anak-anak. Namun juga merupakan suatu panduan parenting untuk para orang tua. Mereka dapat belajar bagaimana menanamkan pemahaman hidup yang baik kepada anak-anaknya. Boyolali, 11 Juli 2017

Sang Juragan Teh

Judul : Sang Juragan Teh Judul Asli : Heren van de thee Penulis : Hella S. Haasse Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Penerjemah : Indira Ismail Tebal : 440 halaman Berkisah tentang Rudolf Kerkhoven. Pemuda dengan tekad kuat untuk membuka dan mengolah perkebunan tehnya sendiri. Ia hidup di masa Kolonial Belanda masih berkuasa di Hindia. Lulus dari sekolahnya di Belanda, ia menumpang kapal menyusul orang tuanya ke Hindia, tepatnya di daerah Priangan. Ia kemudian jatuh cinta pada alam Gambung dan kemudian pantang menyerah membuka perkebunan teh di tempat itu meskipun menghadapi medan yang sulit dan diremehkan orang-orang dekatnya. Di Hindia, ia tidak hanya menemukan mimpinya tetapi juga pelabuhan hatinya. Ia menikah dan hidup bahagia bersama keluarganya. Namun sayang, sepertinya hanya ia yang merasa bahagia, karena ternyata istrinya tidak merasakan hal yang sama. Sampai pada akhirnya, kenyataan pahit harus ia hadapi justru saat perkebunannya sedang berjaya. -------------...

Nilai-nilai hidup dr. Gamal Albinsaid

Buku I Judul : Menyehatkan Indonesia dengan Sampah Penulis : Fachmy Casofa Penerbit : Tiga Serangkai Buku II Judul : Muda Mendunia Penulis : dr. Gamal Albinsaid Penerbit : Indonesia Medika Gamal Albinsaid. Seorang dokter sekaligus seorang sosioenterpreneur sukses. Berawal dari keprihatinannya melihat hasil penelitian-penelitian mahasiswa yang pada akhirnya berujung menjadi arsip kampus tanpa penerapan langsung di masyarakat, dr. Gamal mengembangkan sebuah asuransi sampah untuk masyarakat tidak mampu. Melalui programnya tersebut, dr. Gamal telah sukses membantu meringankan beban rakyat miskin dengan menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau dan bahkan mendapat berbagai macam penghargaan nasional maupun internasional. Dalam kedua buku ini dijelaskan mengenai keyakinan dan nilai-nilai pegangan hidup dr. Gamal dalam menjalankan usahanya yang tidak hanya berorientasi pada kesuksesan dunia namun juga akhirat. Lombok Utara, 19 Juli 2017