Judul : Angkatan Baru
Pengarang : Hamka
Penerbit : Gema Insani
Cetakan : Keempat, Oktober 2017
Tebal : x+90 halaman
Karya Hamka ini mengandung kritik terhadap sistem pendidikan yang hanya fokus pada pencapaian materi setinggi-tingginya tanpa menyertakan nilai-nilai dan pemahaman akan kehidupan nyata.
Menceritakan tentang seorang gadis bernama Syamsiar yang oleh keluarganya disekolahkan sampai sekolah menengah agama. Kala itu, lulusan diploma macam Syamsiar dipandang orang berpendidikan dan tidak layak untuk melakukan pekerjaan remeh temeh rumah tangga maupun pelerjaan lain di desa. Semasa sekolah pun guru-gurunya menanamkan pemahaman bahwa setelah lulus mereka akan bekerja di kota dengan gaji tinggi dan fasilitas mumpuni. Syamsiar pun hanya diam di rumah setelah lulus karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya. Ia juga tak sudi bila menikah dengan lelaki biasa. Ia tidak menyadari bahwa menjalani kehidupan nyata tak semudah apa yang selama ini dikatakan kepadanya.
Berlainan desa, ada seorang pemuda lulusan sekolah Thawalib. Serupa dengan Syamsiar, semasa sekolah pun Hasan dididik dengan perkataan-perkataan yang sama. Awalnya ia sama sekali tidak terbayang sulitnya mencari pekerjaan selepas lulus. Namun berbeda dengan Syamsiar, Hasan mampu menyesuaikan diri dengan zaman yang sulit. Hasan mendirikan pondok untuk anak-anak di kampungnya. Siang hari mereka diajarkan berladang dan bertani sedangkan malamnya Hasan mengajarkan membaca, menulis serta pelajaran agama. Hasan tidak ingin anak-anak itu bernasib sama dengan dirinya sehingga ia bertekad nantinya setelah lulus dari pondoknya mereka selain pandau masalah agama juga pandai mencari nafkah secara mandiri.
Sepak terjang Hasan terkenal sampai kampung Syamsiar. Ia merasa sudah menemukan jodoh yang pantas untuknya. Syamsiar menyusun strategi sedemikian rupa demi menjadi istri Hasan. Banyak orang menyetujui pernikahan keduanya karena mereka dianggap sepadan. Namun dalam perjalanannya pernikahan keduanya tidak berjalan mulis. Meskipun sama-sama lulusan sekolah agama tapi keduanya memiliki pemahaman yang jauh berbeda.
Buku ini meskipun tipis namun padat makna. Dan yang paling menarik adalah Hamka mampu membuatnya seolah-olah kisah Syamsiar dan Hasan ini nyata adanya.
Pengarang : Hamka
Penerbit : Gema Insani
Cetakan : Keempat, Oktober 2017
Tebal : x+90 halaman
Karya Hamka ini mengandung kritik terhadap sistem pendidikan yang hanya fokus pada pencapaian materi setinggi-tingginya tanpa menyertakan nilai-nilai dan pemahaman akan kehidupan nyata.
Menceritakan tentang seorang gadis bernama Syamsiar yang oleh keluarganya disekolahkan sampai sekolah menengah agama. Kala itu, lulusan diploma macam Syamsiar dipandang orang berpendidikan dan tidak layak untuk melakukan pekerjaan remeh temeh rumah tangga maupun pelerjaan lain di desa. Semasa sekolah pun guru-gurunya menanamkan pemahaman bahwa setelah lulus mereka akan bekerja di kota dengan gaji tinggi dan fasilitas mumpuni. Syamsiar pun hanya diam di rumah setelah lulus karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya. Ia juga tak sudi bila menikah dengan lelaki biasa. Ia tidak menyadari bahwa menjalani kehidupan nyata tak semudah apa yang selama ini dikatakan kepadanya.
Berlainan desa, ada seorang pemuda lulusan sekolah Thawalib. Serupa dengan Syamsiar, semasa sekolah pun Hasan dididik dengan perkataan-perkataan yang sama. Awalnya ia sama sekali tidak terbayang sulitnya mencari pekerjaan selepas lulus. Namun berbeda dengan Syamsiar, Hasan mampu menyesuaikan diri dengan zaman yang sulit. Hasan mendirikan pondok untuk anak-anak di kampungnya. Siang hari mereka diajarkan berladang dan bertani sedangkan malamnya Hasan mengajarkan membaca, menulis serta pelajaran agama. Hasan tidak ingin anak-anak itu bernasib sama dengan dirinya sehingga ia bertekad nantinya setelah lulus dari pondoknya mereka selain pandau masalah agama juga pandai mencari nafkah secara mandiri.
Sepak terjang Hasan terkenal sampai kampung Syamsiar. Ia merasa sudah menemukan jodoh yang pantas untuknya. Syamsiar menyusun strategi sedemikian rupa demi menjadi istri Hasan. Banyak orang menyetujui pernikahan keduanya karena mereka dianggap sepadan. Namun dalam perjalanannya pernikahan keduanya tidak berjalan mulis. Meskipun sama-sama lulusan sekolah agama tapi keduanya memiliki pemahaman yang jauh berbeda.
Buku ini meskipun tipis namun padat makna. Dan yang paling menarik adalah Hamka mampu membuatnya seolah-olah kisah Syamsiar dan Hasan ini nyata adanya.
Komentar
Posting Komentar