Langsung ke konten utama

The Old Man and The Sea


Judul : The Old Man and The Sea
Penulis : Ernest Hermingway
Penerbit : Ecosystem Publishing
Cetakan : Kedua, Januari 2018
Tebal : iv+132 halaman

The Old Man and The Sea adalah karya Ernest Hermingway yang terbit pada tahun 1952 dan berhasil memperoleh Nobel Sastra 2 tahun setelahnya.

Bercerita tentang seorang nelayan tua yang telah berlayar selama 84 hari namun belum juga mendapat hasil tangkapan.

Pada hari ke 85, Si Pria Tua kembali berlayar seorang diri. Ia berangkat pagi buta dari gubuk sederhananya di pesisir pantai menuju laut lepas. Dengan sabar dan telaten ia memasang umpan-umpan.

Akhirnya seekor ikan besar menyambar salah satu umpannya. Tapi ia tidak langsung menarik ikan itu ke dalam kapal karena ia tidak mau mengambil risiko tali pancingnya putus oleh tenaga si ikan sehingga ia kehilangan tangkapannya.

Maka berhari-hari ia ikuti kemana pun si ikan berenang. Ia berpikir akan menunggu sampai ikan itu kelelahan sehingga ia lebih mudah menariknya ke kapal.

Pria Tua itu bertahan siang dan malam di atas kapal. Tubuhnya kelelahan menahan terik matahari dan dinginnya malam. Bahunya pun terluka oleh gesekan gulungan tali pancing. Tangannya juga kram karena usia dan keletihan.

Kesabarannya membuahkan hasil. Si ikan mulai kelelahan dan akhirnya ia berhasil menangkap dan mengikat ikan itu di samping kapalnya.

Namun perjuangan Si Pria Tua tidak berhenti di situ. Dalam perjalanan kembali ke pantai, ia harus menghadapi serangan gerombolan hiu yang berusaha merebut hasil tangkapannya.

Saya penasaran untuk membaca buku ini karena semasa sekolah kisah Si Pria Tua ini sering kali muncul di soal Bahasa Indonesia. Terlebih saat tahu kalau novel ini mendapat Nobel Sastra, saya menjadi semakin penasaran. Tapi berhubung saya tidak paham sastra maka saya tidak bisa menemukan keindahan sastra di dalamnya yang membuat buku ini mendapat penghargaan.

Justru yang saya tangkap dari karya Ernest Hermingway ini adalah pesan tentang perjuangan dan kesabaran Si Pria Tua dalam mencari ikan. Ia tidak mengeluh atau pun berputus asa. Bahkan ia selalu optimis dan ikhlas akan semua usahanya tanpa berpikir bahwa usahanya akan sia-sia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serial Anak-anak Mamak

Judul : Eliana, Pukat, Burlian, Amelia Pengarang : Tere Liye Eliana si anak pemberani Pukat si anak pintar Burlian si anak spesial Amelia si anak kuat Keempatnya adalah anak dari Mamak dan Bapak yang dibesarkan dengan pemahaman hidup yang indah. Hidup di daerah terpencil dan dalam keluarga yang sederhana tidak mematikan cita-cita mereka untuk melihat dunia. Cerita keempatnya bukan hanya sekedar cerita anak-anak. Namun juga merupakan suatu panduan parenting untuk para orang tua. Mereka dapat belajar bagaimana menanamkan pemahaman hidup yang baik kepada anak-anaknya. Boyolali, 11 Juli 2017

Relawan Sehari : Kelas Inspirasi Boyolali 2

Ini adalah kisahku saat mengikuti Kelas Inspirasi Boyolali 2. Sudah cukup lama aku ingin bergabung menjadi relawan Kelas Inspirasi (KI) dan Alhamdulillah saat itu aku terpilih menjadi bagian dari para relawan pengajar. Awalnya sempat ragu apakah aku bisa mengajar anak-anak usia SD. Materi apa nanti yang akan aku sampaikan di hadapan mereka. Bagaimana jika materiku tidak menarik minat mereka. Dan berbagai keraguan lain memenuhi benakku saat itu. Sungguh sangat khawatir dan groginya aku. Apalagi saat aku bertemu dengan relawan lain yang sudah beberapa kali ikut KI, makin minder dan cemas. Halaman sekolah SDN 3 Gunung Hari yang dinanti pun tiba. Aku dan teman-teman sekelompok mendapat tugas untuk mengisi KI di SDN 3 Gunung, Simo, Boyolali. Letak SD ini cukup jauh dari pusat Kota Boyolali dan lingkungan sekitarnya pun masih asri. Bila aku tidak salah hitung, total jumlah siswanya sekitar 39 anak terbagi menjadi 6 kelas. Pagi hari pukul 07.00 WIB kami berangkat dari ...

Yang Fana adalah Waktu

Judul : Yang Fana adalah Waktu Penulis : Sapardi Djoko Damono Penerbit : Gramedia Cetakan : Pertama, Maret 2018 Tebal : vi+146 halaman Buku ini adalah buku terakhir dari trilogi Hujan di Bulan Juni. Menceritakan kelanjutan hubungan antara Sarwono dan Pingkan yang oleh keadaan terpisah jarak dan waktu. Juga diceritakan perihal Pingkan yang dilibatkan dalam drama perjodohan Katsuo oleh ibunya. Bagi saya yang buta sastra, membaca bagian terakhir ini terasa lebih mudah dibandingkan dengan membaca kedua pendahulunya. Kalimat-kalimat di dalamnya lebih tidak rumit menurut saya. Tidak ada lompatan-lompatan cerita antara kehidupan nyata dan fana seperti yang banyak terdapat dalam buku kedua. Penggalan-penggalan puisi pun jarang dijumpai di buku ketiga ini. Untuk jalan ceritanya sebenarnya biasa aja. Akhirnya mudah ditebak. Pun tidak banyak konflik yang disajikan. Dan saya kira tujuan Pak Sapardi saat menulis trilogi ini bukan untuk menonjolkan jalan ceritanya namun lebi...